Selasa, 03 Desember 2013

Pangan Lokal Tergempur




                                        
            Seiring dengan perkembangan zaman, kini kita telah memasuki era globalisasi. Suatu era di mana semua negara di belahan dunia manapun diibaratkan sebagai satu perkampungan dunia. Sekat jarak dan waktu bukan lagi sebagai barrier dari perkembangan teknologi, industri, dan ilmu pengetahuan. Suatu global village memiliki konsekuensi yang cukup besar bagi negara yang berkembang seperti Indonesia. Negara berkembang yang notabone sebagai negara dengan tingkat penguasaan iptek pas-pasan, harus bersedia membuka pasarnya untuk produk asing. Bagaikan dua sisi mata uang, hal ini membawa dua dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu warga negaranya dapat menikati perkembangan teknologi hasil penelitian bangsa lain. Perkembangan iptek warga negara juga akan berkembang seiring dengan semakin mudahnya akses iptek dari negara lain. Namun, dampak negatif dari adanya globalisasi tersebut tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Negara maju sering kali memposisikan diri sebagai produsen utama. Negara yang berkembang dan terbelakang dipaksa untuk menjadi konsumen. Biasanya, negara berkembang merupakan negara agraris. Penguasaan iptek yang masih minim sering kali dimanfaatkan oleh asing untuk mengeruk keuntungan dari negara berkembang. Hasil pertanian negara berkembang banyak yang dibeli murah oleh asing. Seperti skenario pada umumnya, di negara maju hasil pertanian yang dibeli murah tersebut kemudian diolah dengan teknologi canggih dan didapatkan produk olahan yang memiliki nilai ekonomi berkali-kali lipat lebih tinggi dari pada bahan mentahnya. Ironisnya, produk ini kembali dijual di negara asalnya. Bahkan, negara asala tersebut menjadi pasar utama dari produk jadi tersebut.
                    Gempuran MNC terhadap pangan tradisioanal
            Multinational Corporation atau lebih dikenal dengan MNC, merupakan suatu term untuk menyebut perusahaan besar yang menguasai proses produksi dan pemasaran di beberapa negara. Perusahaan ini tentunya memiliki banyak modal, teknologi canggih, tenaga profesional, dan pengalaman yang sudah teruji selama bertahun-tahun. Perusahaan ini memiliki trik yang jitu untuk dapat masuk dan merajai suatu segmen pasar tertentu di negara sasaran. Hal pertama yang dilihat oleh MNC adalah permasalahan yang ada di negara yang bersangkutan. Dari permasalahan-permasalahan yang ada, dipilih prioritas permasalahannya. Dari sinilah kemudian alternatif solusi dari permasalahan tersebut diwujudkan ke dalam bentuk produk. Sebelum produk tersebut dilepas di pasaran, produk ini mengalami beberapa tahapan pengujian untuk meyakinkan bahwa konsumen menyukai dan dapat menerimanya. Rangkaian kegiatan seperti itu merupakan rangkaian kegiatan untuk memperkenalkan produk baru pada konsumen dengan kultur tertentu di suatu negara. Bila hal ini kita cermati, kita akan tahu bahwa betapa majunya teknologi dan profesionalitas yang mereka miliki. Kemajuan MNC tentunya berimbas juga pada eksistensi pangan tradisional. Pangan tradisional semakin tergeser dengan keberadaan MNC.
            Dalam praktiknya, MNC mampu mendapatkan banyak konsumen dengan menonjolkan beberapa brand image yang tidak dimiliki oleh pangan tradisional. Modernitas seringkali menempati porsi terbesar di dalam penggunaannya sebagai brand image yang ditonjolkan. Modernitas ini sebenarnya semakin rancu bila disandingkan dengan westernitas. Kerancuan ini merupakan salah kaprah konsumen yang mengidentikkan westernitas dengan modernitas. Konsumen menganggap bahwa segala yang berbau barat dipastikan adalah hal yang modern. Salah kaprah seperti ini yang sering kali dilirik MNC sebagai celah promosi yang sangat potensial. Sebagai contoh, produk minuman berkarbonasi telah mendobrak pasar nasional. Brand image yang dimunculkan di kalangan konsumen adalah bahwa orang yang meminumnya termasuk orang yang mengikuti life style modern. Brand image yang telah menempel ini mampu melemahkan kekuatan hasil penelitian yang menyatakan bahwa minuman bersoda tidak baik bagi kesehatan.
            MNC, juga tidak jarang memperkenalkan gaya hidup baru melalui produknya,  yang terkadang berbeda dengan kultur negara yang bersangkutan. Dahulu, seorang ibu rumah tangga memiliki keahlian memasak yang tidak diragukan lagi kemampuannya. Sekarang, semakin banyak ibu rumah tangga tidak bisa memasak. Dengan adanya fast food, hal ini seolah dapat teratasi. Anggapan ini hanyalah anggapan semu yang akan semakin menjauhkan para ibu muda dalam keahlian memasak. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, banyak keluarga yang menjadikan restoran fast food sebagai tujuan utama. Akhirnya, makan di fast food menjadi gaya hidup yang secara sadar maupun tidak, telah banyak berkembang di suatu lapisan masyarakat tertentu. Padahal, makanan yang disediakan di fast food kebanyakan (selalu) adalah makanan asing, misalnya hamburger. Pengetahuan akan keberadaan pangan tradisional akan semakin luntur dengan adanya gaya hidup saperti ini. Keanekaragaman pangan tradisional dengan kearifan lokal yang melekat, menjadi semakin kabur di setiap pergantian generasi. Makanan yang dikenal oleh generasi yang akan datang pada akhirnya adalah makanan luar negeri. Ketika nasionalisme dipandang dari sudut pangan maka fenomena ini merupakan kasus ‘kecolongan’ yang luar biasa bagi bangsa Indonesia.

1 komentar: