Seiring dengan perkembangan zaman,
kini kita telah memasuki era globalisasi. Suatu era di mana semua negara di
belahan dunia manapun diibaratkan sebagai satu perkampungan dunia. Sekat jarak
dan waktu bukan lagi sebagai barrier dari perkembangan teknologi, industri,
dan ilmu pengetahuan. Suatu global village memiliki konsekuensi yang
cukup besar bagi negara yang berkembang seperti Indonesia. Negara berkembang
yang notabone sebagai negara dengan tingkat penguasaan iptek pas-pasan,
harus bersedia membuka pasarnya untuk produk asing. Bagaikan dua sisi mata
uang, hal ini membawa dua dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu
warga negaranya dapat menikati perkembangan teknologi hasil penelitian bangsa
lain. Perkembangan iptek warga negara juga akan berkembang seiring dengan
semakin mudahnya akses iptek dari negara lain. Namun, dampak negatif dari
adanya globalisasi tersebut tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Negara maju
sering kali memposisikan diri sebagai produsen utama. Negara yang berkembang
dan terbelakang dipaksa untuk menjadi konsumen. Biasanya, negara berkembang
merupakan negara agraris. Penguasaan iptek yang masih minim sering kali
dimanfaatkan oleh asing untuk mengeruk keuntungan dari negara berkembang. Hasil
pertanian negara berkembang banyak yang dibeli murah oleh asing. Seperti
skenario pada umumnya, di negara maju hasil pertanian yang dibeli murah
tersebut kemudian diolah dengan teknologi canggih dan didapatkan produk olahan
yang memiliki nilai ekonomi berkali-kali lipat lebih tinggi dari pada bahan
mentahnya. Ironisnya, produk ini kembali dijual di negara asalnya. Bahkan,
negara asala tersebut menjadi pasar utama dari produk jadi tersebut.
Gempuran MNC
terhadap pangan tradisioanal
Multinational Corporation atau lebih dikenal dengan MNC, merupakan suatu term untuk
menyebut perusahaan besar yang menguasai proses produksi dan pemasaran di
beberapa negara. Perusahaan ini tentunya memiliki banyak modal, teknologi
canggih, tenaga profesional, dan pengalaman yang sudah teruji selama bertahun-tahun.
Perusahaan ini memiliki trik yang jitu untuk dapat masuk dan merajai suatu
segmen pasar tertentu di negara sasaran. Hal pertama yang dilihat oleh MNC
adalah permasalahan yang ada di negara yang bersangkutan. Dari
permasalahan-permasalahan yang ada, dipilih prioritas permasalahannya. Dari
sinilah kemudian alternatif solusi dari permasalahan tersebut diwujudkan ke
dalam bentuk produk. Sebelum produk tersebut dilepas di pasaran, produk ini
mengalami beberapa tahapan pengujian untuk meyakinkan bahwa konsumen menyukai
dan dapat menerimanya. Rangkaian kegiatan seperti itu merupakan rangkaian
kegiatan untuk memperkenalkan produk baru pada konsumen dengan kultur tertentu
di suatu negara. Bila hal ini kita cermati, kita akan tahu bahwa betapa majunya
teknologi dan profesionalitas yang mereka miliki. Kemajuan MNC tentunya
berimbas juga pada eksistensi pangan tradisional. Pangan tradisional semakin
tergeser dengan keberadaan MNC.
Dalam praktiknya, MNC mampu
mendapatkan banyak konsumen dengan menonjolkan beberapa brand image yang
tidak dimiliki oleh pangan tradisional. Modernitas seringkali menempati porsi
terbesar di dalam penggunaannya sebagai brand image yang ditonjolkan.
Modernitas ini sebenarnya semakin rancu bila disandingkan dengan westernitas.
Kerancuan ini merupakan salah kaprah konsumen yang mengidentikkan westernitas
dengan modernitas. Konsumen menganggap bahwa segala yang berbau barat
dipastikan adalah hal yang modern. Salah kaprah seperti ini yang sering kali
dilirik MNC sebagai celah promosi yang sangat potensial. Sebagai contoh, produk
minuman berkarbonasi telah mendobrak pasar nasional. Brand image yang
dimunculkan di kalangan konsumen adalah bahwa orang yang meminumnya termasuk
orang yang mengikuti life style modern. Brand image yang telah
menempel ini mampu melemahkan kekuatan hasil penelitian yang menyatakan bahwa
minuman bersoda tidak baik bagi kesehatan.
MNC, juga tidak jarang
memperkenalkan gaya hidup baru melalui produknya, yang terkadang berbeda dengan kultur negara
yang bersangkutan. Dahulu, seorang ibu rumah tangga memiliki keahlian memasak
yang tidak diragukan lagi kemampuannya. Sekarang, semakin banyak ibu rumah
tangga tidak bisa memasak. Dengan adanya fast food, hal ini seolah dapat
teratasi. Anggapan ini hanyalah anggapan semu yang akan semakin menjauhkan para
ibu muda dalam keahlian memasak. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, banyak
keluarga yang menjadikan restoran fast food sebagai tujuan utama.
Akhirnya, makan di fast food menjadi gaya hidup yang secara sadar maupun
tidak, telah banyak berkembang di suatu lapisan masyarakat tertentu. Padahal,
makanan yang disediakan di fast food kebanyakan (selalu) adalah makanan
asing, misalnya hamburger. Pengetahuan akan keberadaan pangan tradisional akan
semakin luntur dengan adanya gaya hidup saperti ini. Keanekaragaman pangan
tradisional dengan kearifan lokal yang melekat, menjadi semakin kabur di setiap
pergantian generasi. Makanan yang dikenal oleh generasi yang akan datang pada
akhirnya adalah makanan luar negeri. Ketika nasionalisme dipandang dari sudut
pangan maka fenomena ini merupakan kasus ‘kecolongan’ yang luar biasa bagi
bangsa Indonesia.
like this!
BalasHapus