Kamis, 05 Desember 2013

Status Gizi Santri Dan Konsep Laku Prihatin


Status Gizi Santri Dan Konsep Laku Prihatin


 Sudah menjadi stereotype bagi santri bahwa  mereka, para kaum bersarung, memiliki status gizi yang rendah.  Rendahnya status gizi ini menjadi bagian dari beberapa stereotype lain yang melekat pada diri santri, misalnya sering gudigen, berwawasan konservatif, ketinggalan zaman, dan fanatic sempit. Lengkap sudah catatan-catatan khusus itu melekat pada diri santri.
Berbicara mengenai status gizi santri, tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu pola konsumsi santri, kegiatan santri, kesadaran gizi santri, dan konsep laku prihatin (riyadloh) yang tengah dianut santri. Semua faktor tersebut memiliki kaitan satu sama lain sehingga pada akhirnya menghasilkan statemen status gizi yang khas bagi kaum santri. Apabila kita analisa lebih lanjut maka faktor-faktor di atas pada dasarnya bermuara pada satu faktor, yaitu konsep riyadloh yang dianut santri.
Riyadloh merupakan suatu istilah yang tak asing lagi terdengar ketika segala sesuatu yang berkaitan dengan pesantren dan  identitas santri dikupas. Riyadloh secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu usaha laku prihatin santri dalam belajar menuntut ilmu sehingga ilmu yang didapatkan menjadi bermanfaat dan berkah. Dalam praktiknya, laku prihatin santri ini bermacam-macam. Adakalanya, para santri  mengandalkan laku prihatin yang sulit diterima akal, misalnya puasa yang terlalu memaksakan diri. Bentuk puasa ini pun bermacam-macam. Kalau misalnya  puasa senin-kamis, maka bisalah hal itu dimengerti dan memang secara kesehatan bisa dinyatakan menguntungkan. Namun, di kalangan santri puasa tidak hanya berhenti pada tataran puasa senin-kamis, mereka mencari ‘form’ puasa yang lain, misalnya puasa mutih selama 40 hari.
Bila dipandang menurut kacamata gizi, hal di atas benar-benar tidak baik bagi tubuh. Bahkan, terjadi paradoks antara maksud santri untuk mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan ilmu dengan akibat yang mungkin terjadi bila model laku seperti hal tersebut dijalankan secara lanjut. Paradoks tersebut berdasarkan kenyataan bahwa selama ini kegiatan belajar di pesantren merupakan  suatu kegiatan yang banyak menyita banyak energi dan membutuhkan berbagai macam nutrisi untuk mensupport keberhasilan kegiatan tersebut. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka laku prihatin santri tersebut sebenarnya tidak mendukung kesuksesan belajar, namun malah bisa menjadi barrier kesuksesan yang mereka dambakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar